Secara
umum setiap manusia memeluk sebuah agama, karena agama adalah suatu bentuk adat
kepercayaan bagi setiap orang yang memeluknya. Dalam kehidupannya, manusia
sangatlah erat berhubungan dengan agama. Agama ada karena mempunyai peran untuk
memberi kedamaian hati. Petunjuk, dan menuntun manusia dalam menjalani kehidupannya.
Sebagai
contohnya agama yang akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu Shinto. Shinto
adalah sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat jepang pada umumnya. Shinto
sebagai agama asli jepang mempunyai sifat yang unik dan bisa dibilang
ruwet. Dari segi proses terbentuknya,
ajarannya, maupun bentuk-bentuk upacara keagamaannya.
Perkembangan budaya di Jepang juga sangatlah
unik. Banyak kebudayaan yang masuk kedalam Jepang akan tetapi tidak
menghilangkan budaya asli masyarakat Jepang itu sendiri. Budaya-budaya luar itu
sendiri justru memperkaya budaya masyarakat Jepang. Di Jepang antara budaya
asli dengan budaya yang berasal dari luar dapat dipadukan menjadi sebuah budaya
atau tradisi baru yang hampir sama dengan tradisi lama. Perpaduan inilah yang
pada perkembangannya disebut dengan Shinto.
Secara bahasa, Shinto berasal dari kata “Shin”
yang artinya “Dewa”, dan “To” yang artinya “Jalan”. Jadi Shinto
diartikan sebagai “Jalan Dewa”. Selain dapat diartikan dewa, kata “Shin”
juga diartikan sebagai “Roh”, baik itu roh orang yang telah meninggal maupun
roh bumi dan langit. Kata “Shin” sendiri sama dengan arti kata “Yin” dalam
ajaran Taoisme, yang berarti gelap, basah, negatif, dan sebagainya. Sedangkan
kata “To” sendiri dalam ajaran Taoisme
berdekatan dengan kata “Tao”, yang artinya jalannya dewa atau jalannya bumi dan
langit. Jika dilihat dari pemaparan tersebut di dalam ajaran-ajaran Shinto
banyak dipengaruhi dengan ajaran-ajaran Taoisme.
Shinto sendiri adalah nama untuk menyebut
kepercayaan dan tradisi-tradisi asli masyarakat Jepang. Istilah Shinto baru
digunakan setelah masuknya agama lain ke Jepang sekitar abad ke keenam masehi.
Istilah ini diberikan oleh para Biksu Buddha pada kepercayaan, ritual-ritual
dan tradisi masyarakat Jepang pada saat itu. Agama-agama baru yang masuk ke
Jepang cepat berbaur dan dapat diterima oleh masyarakat Jepang karena ajarannya
sama dengan tradisi mereka. Seperti Konfusius yang masuk ke Jepang sekitar abad keempat atau Buddha yang masuk sekitar
abad keenam (538 atau 552), ajaran kedua agama tersebut sangatlah menekankan
keselarasan manusia dengan alam.
Pada tahun 604 M Pangeran Shotoku mengeluarkan
undang-undang tujuh belas pasal yang berisi konsep-konsep etis dari ajaran
Konfusius. Yang unik dari peristiwa ini adalah pada saat pengeluaran
undang-undang ini Pangeran Shotoku sendiri adalah penganut Buddha. Oleh karena
itu dalam perkembangannya setelah dikeluarkan undang-undang tersebut, pengaruh Konfusius
dan Buddha tidak hanya bercampur dengan Shinto tapi juga merasuk ke dalam
perilaku dan kesadaran moral masyarakat Jepang sehingga sulit untuk membedakan
antara ajaran Konfusius, Budha, dan Shinto sendiri.
Pangeran Shotoku
Hubungan
antara Buddha dan Shinto dirumuskan dalam sebuah teori perpaduan yang dikenal
dengan istilah Honji Suijaku Setsu. Yaitu teori yang menempatkan Sang
Buddha sebagai Honji atau “yang
pertama” dan dewa-dewa Shinto sebagai manifestasi atau penjelmaan dari Sang
Buddha. Pemikiran ini berkembang pada masa keshogunan Kamakura (sekitar
1192-1333) dengan munculnya beberapa tokoh pemikir terkemuka Buddha di Jepang,
seperti Honen (1133-1212), Shinran (1173-1262), Dogen (1200-1253), dan Nichiren
(1222-1282).
Pada masa keshogunan Muromachi (1338-1583),
muncul aliran Shinto yang mengajarkan perpaduan Buddha, Konfusius, dan Shinto
yang menjadi basis utamanya. Aliran ini disebut dengan Yoshida Shinto.
Perpaduan ketiganya dikiaskan layaknya sebuah pohon, Buddha sebagai bunga dan
buah dari semua aturan (Dharma), Konfusius sebagai cabang dan
rantingnya, dan Shinto sebagai akar dan batangnya. Konsep perpaduan ini sering
disebut dengan istilah Shinbutsu Shugo.
Tetapi konsep seperti itu juga tidak dapat
memberikan persatuan seutuhnya. Walaupun telah ada konsep tersebut, adanya
persaingan antara pendeta Buddha dengan pendeta Shinto tetaplah ada. Sejarah
mencatat pada tahun 1571 Kuil Buddha Enryaku-Ji yang terletak di gunung
Hiei dibakar habis oleh Daimyo Owari, Oda Nobunaga. Dalam pembakaran tersebut kurang lebih empat ribu orang tewas. Pada saat
itu Oda mengeluarkan undang-undang pelarangan kepercayaan selain Shinto karena
pada saat itu perkembangan Buddha sangatlah pesat, dan juga pada masa itu
Kristen mulai masuk ke Jepang.
Kuil Enryakuji
Pada
masa keshogunan Tokugawa (1603-1868) agama Buddha menjadi agama resmi negara.
Pada masa ini juga sudah mulai terlihat
usaha-usaha menghidupkan kembali ajaran-ajaran Shinto. Gerakan pembaharu Shinto
seperti Motori Norinaga (1730-1801) menerbitkan sebuah buku yang memuat hasil
pemikirannya terhadap kitab Kojiki. Buku ini dinamakan Kojiki-den.
Karya ini bukan hanya sebagai penerang Shinto, akan tetapi juga berpengaruh
terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan pada masa selanjutnya. Usaha Norinaga
kemudian dilanjutkan oleh salah seorang pengikutnya yang bernama Hirata
Atsutane (1776-1843). Atsutane tidak hanya melanjutkan usaha-usaha gurunya,
akan tetapi juga mempraktekkannya serta menjadikannya sebagai dasar bagi
kebangkitan Shinto. Atsutane juga menulis tentang sastra Jepang klasik dan
tidak hanya itu, Atsutane juga mempelajari dan mengkritik Buddha, Konfusius,
dan Kristen. Pada tahun 1811 Dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Kodo-taii,
pokok-pokok ajaran kuno.
Kitab Kojiki
Di bawah Restorasi Meiji yang dimulai pada 1868,
untuk memisahkan dan memurnikan Shinto, pemerintah memisahkan Shinto dari
Buddha. Pemisahan ini di kenal istilah Shinbutsu Bunri. Akan tetapi
usaha pemerintah kala itu mendapat kesulitan karena mendapat tuntutan dari
agama-agama lain seperti Kristen atau Buddha. Pada tahun 1889 pemerintah
mengeluarkan undang-undang tahun 1889 pasal 28 yang membebaskan warga negara
bebas beragama, akan tetapi dengan ketentuan tidak membahayakan maupun
mengganggu ketertiban, serta tidak mengganggu kewajiban mereka sebagai warga
negara.
Walaupun pemerintah telah mengeluarkan
undang-undang tentang kebebasan beragama, tetapi dalam pelaksanaannya masih
terdapat perbedaan antara agama resmi negara, Shinto dengan agama-agama
lainnya, seperti Buddha, Kristen maupun agama lainnya.
Sikap pemerintah baru benar-benar membebaskan
warganya dalam beragama pada saat kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua.
Jepang di tuntut untuk memisahkan urusan agama dengan urusan pemerintahan. Pada
3 Nopember 1945 pemerintah Jepang mengeluarkan undang-undang yang membebaskan
sepenuhnya warganya dalam beragama, dan negara tidak akan memberikan hak khusus
pada organisasi keagamaan tertentu. Undang-undang baru itu juga menegaskan
bahwa pengajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan juga dilarang.
Undang-undang tersebut merupakan dasar dari
kebebasan beragama bagi seluruh warga negara Jepang sampai saat ini dan juga
sebagai pemisah antara agama dan pemerintahan. Kini, Shinto tidak lagi menjadi
agama resmi negara yang dipaksakan. Hak-hak istimewa terhadap Shinto juga telah
dihapuskan. Pada saat ini kedudukan Shinto sama dengan agama lain yang ada di
Jepang.
Shinto pada awalnya adalah kepercayaan yang memuja
kekuatan-kekuatan alam. Bangsa Jepang kemudian mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan
tersebut untuk memudahkan mereka. Semua benda di alam ini baik yang hidup
maupun yang mati dianggap memiliki kekuatan, dan mereka percaya bahwa
kekuatan-kekuatan itu mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuatan-kekuatan tadi
mereka puja dan mereka memberi sebutan Kami.
Kami diartikan sebagai kekuatan yang tinggi. Di
dalam hal ini Kami dapat di artikan sebagai Dewa atau Tuhan. Dewa-dewa
dalam Shinto jumlahnya tak terbatas, bahkan bisa bertambah. Hal ini diungapkan
dalam istilah Yaoyazoru no Kami, yang mempunyai arti delapan miliun
dewa. Menurut Shinto, kepercayaan terhadap berbilangnya dewa justru dianggap
positif. Sebuah angka banyak berarti menunjukkan bahwa dewa tersebut memiliki
sifat agung, sempurna, dan suci. Penyembahan Kami biasanya dilakukan di Jinja
(kuil) atau juga bisa di rumah-rumah masyarakat.
Salah Satu Kuil, yang berada di Jepang (Kinkakuji)
Penjelasan tentang Kami jika menurut seorang tokoh pembharu Shinto,
Norinaga, menjelaskan bahwa konsepsi kedewaan di dalam Shinto terkandung tiga
hal, yaitu:
1)
Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan
personifikasi gejala-gejala alam dianggap dapat mendengar, melihat, dan
sebagainya sehingga harus di puja langsung.
2)
Dewa-dewa tersebut dapat pula berwujud manusia
3)
Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit
yang berdiam di tempat-tempat suci dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Di dalam kepercayaan Shinto dewa dapat
dibedakan menjadi dua macam, Dewa Langit, Amatsu no Kami, dan Dewa Bumi,
Kunitsu no Kami. Dewa-dewa langit tinggal di Takama no Hara, dan
Dewa-dewa Bumi tinggal di bumi.
Jumlah dewa dalam Shinto jumlahnya banyak dan
beraneka ragam. Diantara sekian banyaknya dewa-dewa tersebut, Dewa Matahari
yang mempunyai kedudukan tinggi diantara dewa-dewa lainnya. Para penganut
Shinto menjuluki Dewa Matahari dengan nama Amaterasu- Omi- Kami. Benda
yang menjadi simbol Dewa Amaterasu adalah cermin yang disebut Yata no
Kagami. Cermin tersebut di simpan di Kuil Ise, di prefektur Mie.
Kuil Ise, di Prefektur Mie
Untuk memudahkan dalam pemujaan masyarakat
Jepang menggolongkan dewa-dewa seperti,
a. Dewa Pertanian
Dikalangan masyarakat Jepang
kuno, kesuburan tanah sangatlah diperhatikan. oleh karena itu kedudukannya
sangatlah penting setelah Dewa Matahari.
Dewi Pertanian yang sangat
terkenal di Jepang adalah Dewi Inari. Hampir setiap rumah memiliki tempat suci
untuk memujanya.
Patung rubah yang melambangkan Dewi Inari di kuil Fushimi Inari, Kyoto
b. Dewa Tanah.
Dewa Tanah dianggap memiliki
kekuasaan atas tanah, baik berupa tanah pertanian maupun yang lainnya. Dewa
Tanah biasanya dipuja secara langsung.
Dewa yang terkenal adalah Oo Kuni Nushi, Dewa ini adalah dewa
obat-obatan, kesuburan, dan pertanian
.
Patung Oo Kuni Nushi di Kuil Izumo Taisha
c. Dewa Gunung
Hampir di seluruh gunung
terdapat Yama no Kami (Dewa
Gunung). Dewa Gunung biasanya dipuja oleh para pemburu, pencari kayu, dan juga
para penduduk yang tinggal di lereng gunung. Dewa gunung yang terkenal adalah Sengen
Sama. Sengen Sama adalah dewi berparas cantik yang tinggal di Gunung
Fuji. Masyarakat Jepang percaya bahwa Sengen Sama yang membuat
bunga-bunga bermekaran.
Ilustrasi tentang Sengen Sama
d. Dewa Laut
Dewa laut atau biasa disebut Umi
no Kami adalah dewa yang berkuasa atas laut. Dewa laut biasa dipuja oleh
para nelayan untuk memperoleh keselamatan jika berlayar dan hasil tangkapaan
yang banyak. Salah satu dewa laut adalah
Ryuujin. Ryuujin adalah dewa laut yang mengendalikan arus air
pasang.
Ryujin no Kami
e. Dewa Air
Dewa air biasanya dipuja oleh
masyarakat Jepang ditempat-tempat
seperti sungai-sungai, mata air, dan danau-danau. Dewa air biasa disebut Suijin
dan biasa dilambangkan sebagai ular atau naga.
Kuil Amano Iwate, salah satu kuil penyembah Dewa Air
f. Dewa Manusia
Telah
diterangkan diatas bahwa dewa di dalam Shinto tidak terbatas jumlahnya. Di
dalam Shinto jiwa manusia juga bisa
menjadi kami. Sebagai contoh adalah Sugawara Michizane yang dipuja
sebagai Tenjin (Dewa Ilmu pengetahuan).
Patung Tenjin
Selain dewa-dewa diatas masih banyak lagi
dewa-dewa dalam kepercayaan masyarakat Jepang, seperti Dewa Guntur (Raiijin),
Dewa Bulan (Tsukuyomi no Mikoto), Dewa perang dan pelindung Jepang (Hachiman),
dan Dewa Angin (Fuujin).
Shinto sebagai sebuah kepercayaan juga
mempunyai pedoman bagi para pengikutnya. Pedoman tersebut berupa kitab. Kitab suci yang tertua dalam Shinto ada dua
buah kitab. Kitab ini disusun sepuluh
abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM)
kaisar Jepang yang pertama. Masa yang lebih belakangan di susun lagi dua kitab.
Keempat kitab itu adalah sebagai berikut:
a.
Kojiki
(catatan peristiwa purbakala), disusun pada 721 M, sesudah
kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara, ibukota Nara dibangun pada 710 M
mengikuti model ibukota Changan di Tiongkok. Kitab ini menguraikan tentang alam
khayangan tempat hidup para dewa dan dewi sampai kepada Amaterasu omi Kami (dewi
Matahari) dan Tsukiyomi (dewa Bulan) diangkat menguasai langit dan puteranya
Jimmu Tenno (660 SM) diangkat untuk menguasai “tanah yang indah dan subur”
(Jepang) di bumi, lalu disusuli dengan silsilah turunan kaisar Jepang beserta
riwayat hidup satu persatu. Selanjutnya upacara keagamaan yang dilakukan dengan
pemujaan terhadap kaisar beserta para dewa dan dewi.
Pendahuluan Kojiki, penulisnya menyatakan bahwa dia adalah
bangsawan tingkat lima di istana, yang menerima perintah kaisar untuk menyusun
kisah kaisar beserta riwayat hidupnya.
Dia menuliskan berdasarkan kisah turun temurun yang dihafalkan dan
dinyanyikan Reciter, yakni pihak penyanyi-bercerita.
b.
Nihonji (riwayat Jepang), disusun pada
720 M oleh penulis yang sama dengan bantuan pangeran istana. Kitab ini bersifat
komentar panjang lebar atas kitab yang pertama.
c.
Yengishiki yang bermakna: berbagai
lembaga pada masa Yengi. Kitab ini disusun pada abad ke-10 M terdiri
dari lima puluh bab. Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah-kisah
purbakala yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa berikutnya sampai
abad ke-10 M. Inti dari kitab ini ialah mencatat 25 buah Norito, yakni
doa-doa pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara keagamaan.
d.
Manyoshiu,
yang bermakna: himpunan sepuluh ribu daun. Berisikan bunga-rampai,
terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad ke-5 dengan abad ke-8 M.
Pada 31 Desember 1970 terdapat 145
organisasi Shinto yang tercatat sebagai lembaga resmi pada Kementrian
Pendidikan. Organisasi-organisasi tersebut dibedakan menjadi tiga, yaitu Jinja
Shinto, Kyoha Shinto, dan Shin Kyoha Shinto.
a.
Jinja Shinto
Sebagai
organisasi keagamaan, Jinja Shinto
adalah produk modern, dan belum ada sebelum 1868. Tempat-tempat suci Shinto
diatur dalam sistem tertentu, dab dimasukkan ke dalam suatu gabungan
tempat-tempat suci yang disebut Jinja Shinto.
Jumlah
keseluruhan tempat suci nasional Shinto pada tahun 1945 ada 218 dan ada 1.100
tempat suci lokal. Semuanya memperoleh bantuan dari pemerintah. Akan tetapi
semenjak di keluarkannya Pedoman Shinto, pada tahun 1945 semua tempat suci yang
berhubungan dengan pemerintah di putus hubungannya. Semenjak itu tempat-tempat
suci tersebut tercerai-berai. Pada 1946 dibentuklah sebuah organisasi bernama Jinja
Honcho (Persekutuan Tempat Suci Shinto). Tercatat pada 1968 terdapat 80.000
tempat suci yang bernaung dibawah Jinja Honcho.
b.
Kyoha Shinto
Menurut bahasa, Kyoha Shinto
berarti sekte Shinto. Sekte ini bermunculan pada tahun-tahun terakhir masa
Keshogunan Tokugawa (1603-1868) dan berkembang selama masa Kekaisaran Meiji
(1868-1912). Sekte-sekte ini biasanya sering disebut dengan aliran baru,
meskipun bukan berarti benih-benih ajarannya sebelumnya tidak pernah ada.
Dewa atau Kami yang
dipuja oleh sekte-sekte yang tergabung dalam Kyoha Shinto pada umumnya
sama dengan ajaran Shinto tradisional.
Sekte-sekte yang tergabung
dalam Kyoha Shinto jika menurut Kawawata Yuiken, dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1)
Sekte-sekte tradisional, yakni sekte Shinto Taikyo, Shinto Shuseiha,
Izumo Oyashirokyo, Shinto Taisekyo, Shinsukyo, dan sekte Shinrikyo.
2)
Sekte-sekte pemuja gunung, yaitu sekte Onitakekyo, sekte Fusokyo,
dan sekte Jikkokyo.
3)
Sekte-sekte yang didasarkan wahyu, seperti sekte Kurozumikyo, sekte Konkokyo,
sekte Misogikyo, dan sekte Tenrikyo.
Selanjutnya jika menurut Komite
Shinto, pembagian sekte dalam Kyoha Shinto dibagi menjadi lima, yaitu:
1)
Sekte-sekte Shinto asli, sekte ini terdiri atas tiga sekte, yaitu sekte Shinto
Taikyo, sekte Shinrikyo, dan sekte Shinto Taishakyo.
2)
Sekte Konfusianis, sekte ini banyak terpengaruh ajaran Konfusius, seperti
sekte Shinto Shuseiha dan sekte Shinto Taisekyo.
3)
Sekte pemuja gunung, yakni sekte Jikkokyo, sekte Fusokyo, dan
sekta Onitakekyo.
4)
Sekte penyucian, sekte ini menekankan terhadap upacara-upacara penyucian.
Sekte ini terdiri dari sekte Shinshukyo dan sekte Misogikyo.
5)
Sekte kalangan petani, yakni sekte Kurozumiko, sekte Konkokyo, dan
sekte Tenrikyo.
c.
Shin Kyoha Shinto
Pada
pertengahan abad ke-19 banyak bermunculan bentuk-bentuk kepercayaan yang
sebelumnya kurang mendapat perhatian. Sesudah berakhirnya Perang Dunia ke-2,
pemerintah Jepang mengambil sikap netral terhadap semua agama. Hal inilah yang
kemudian dijadikan kesempatan oleh sekte-sekte Shinto, yang sebelumnya terpaksa
bergabung dengan sekte Shinto yang diakui oleh negara, untuk memisahkan diri.
Kelompok-kelompok inilah yang kemudian disebut dengan Shin Kyoha Shinto.
Jumlah sebenarnya sekte-sekte baru ini tidak diketahui
secara pasti. Semua sekte-sekte baru tersebut dapat dibedakan menjadi lima
macam, yaitu:
1) Sekte Monoteisme, sekte mempercayai bahwa hanya ada satu dewa yang dianggap
sebagai sumner segala wujud dan penciptaan semua yang ada di alam semesta ini.
2) Sekte Honoteisme, sekte ini disamping mempercayai adanya banyak dewa-dewa,
juga menyatakan bahwa Dewi Matahari adalah sumber dari segala gejala alam.
3) Sekte Politeisme, sekte ini memiliki kepercayaan seperti halnya Shinto pada
umumnya, yaitu percaya akan banyaknya dewa-dewa yang di puja.
4) Sekte Messianisme, menurut sekte ini para dewa membimbing dan memberi
petunjuk manusia melalui wahyu yang diberikan kepada pendirinya yang bertindak
sebagai perantara antara manusia dengan Dewi matahari.
5) Sekte yang terpengaruh Cina, ajaran-ajaran didalam sekte ini banyak yang
terpengaruh dengan ajaran-ajaran dari Cina.
Komentar
Posting Komentar